Bromo Tengger Semeru Ultra (BTS100)

IMG_20191103_092310.jpgPertama menjadi bagian di race trail 100 mile, sadis. Di Bts Ultra inilah mata saya dibukakan akan kejamnya lari di ketinggia dengan jarak super duper jauh ditambah rute yang abu-abu. Walopun sekedar volunteer penjaga ‘warung’, sayapun dibikin tumbang dengan realita cuaca yang berubah tergantung mood ini.

Keikutsertaan menjadi bagian di BTS ultra 100 ini sebagai wujud dendam belum sanggupnya ikut sebagai pelari trail gunung. Masih menimbang di beban latihan yang jauh dari cukup dan agak merasa kurang di kondisi tubuh menahan beban tanjakan. Tapi, Insyallah 2020 akan agak berbeda, race – race besar akan saya coba sebisa mungkin. kita liat nanti.

Dan, tugas saya di BTS Ultra 100 2019 berada di WS Jemplang sebagai pencatat waktu, rute puncaknya lintasan sebelum berangsur turun. Sekaligus tempat yang cukup menyebalkan bagi peserta katagori 170K, loop dua kali dong!. WS yang cukup menyenangkan bagi yang merasa kedinginan dan ingin menyelesaikan hajat, karena deket warung dan kamar mandi 24jam. Walopun ada beberapa yang merasa kedinginan akibat hujan dari start tapi Alhmadulillah bisa sampai di WS Jemplang, walupun untuk sekedar konfirmasi DNF (do not finished).

BTS 2019 kayaknya peserta luarnya paling banyak foreigner yang pernah saya temui di semua even trail. Banyak yang masih kesusahan bahasa inggris apalagi Indonesia, tapi selalu salut ama pelari Jepang dan Malaysia, rame parah. Padahal mereka kebanyakan bukan pelari profesional atau pelari kencang untuk berburu podium, cuman hobi tapi dibelain dengan serius. Money isn’t matter!!

Selain kejamnya hujan adari hari jumat (01/11), perubahan rute min- sekian jam sebelum start, marka yang agak kurang terlihat menjadi tantangan bagi para pelari. Tak kurang dari pelari kencang katagori 170K harus memupuskan harapanya meraih gelar, karena kurang jumlah nge-loopnya di B29.

IMG_20191102_111828.jpg

Pelari Thailand, humble banget. Udah jelas di DNF ama pak RD tetep aja nggak nyalahin siapa aja.  I’m very pleasure to meet him!!

IMG_20191103_021153.jpg

Dan, kali ini pelari 170K yang sedari awal bisa mempertahankan posisi pertama tak terkejar palari berikutnya. Akihide Ando. Gokil!!

Hanya saja saya nggk sempet menemui pelari posisi ke 2 Fandi Achmad, walau sekedar mendecap kagum akan keseriusannya menaklukan BTS 2019.

IMG_20191103_053408.jpgKatagori perempuan ada pelari Jepang lagi, yang gak tau lagi bisa kuat kaya gini. Overall posisi dia urutan ke-7 cuy. Sadis nggak tuh. Asuka Nakajima (Japan/Based on Jakarta).

Untuk review katagori lain, 102K, 70K, dan 30K saya agak kewalahan, selain tepar di tenda juga pencatatan yang berjibun menumpuk di lokasi jadi kurang memperhatikan posisi-posisi pemegang tahta masing-masing katagori. Ditambah hujan lebat menyelimuti hari kedua (2/11) penyelenggaraan race.

BTS 2020 sepertinya bakal ke Bromo lagi, entah jadi runner atau volunteer lagi. Soalnya cakep parah kondisi alamnya, ditambah bahasa lokalnya masih ada Jawa lemes ( I loved it), soto yang lezat menambah syahdunya akan dinginya cemoro lawang, dan yang terpenting, sinyal hp 4G kuat sampai area gumuk pasir, keren!!.

 

 

 

 

 

 

Race ter-menyesal, di Borobudur (International) Marathon 2018

Apa yang kalian bayangin ketika akan ikut kompetisi dan ternyata udah pasti dari awal kalian bakal kalah?, lanjut buat uji nyali atau tidur aja di rumah?!. Itulah dua jawaban saya ketika mendapat slot jalur cepat fasttrack Borobudur Marathon 2018 pada bulan februari kemarin. Ditambah sebulan menjelang race banyak drama realiti yang terjadi, walopun akhirnya….yasudahlah.

Tahap Persiapan

Secara khusus tahun 2018 saya punya race inti, Run to care (Rtc)150 Km dan Borobudur katagori full marathon (26 mil). Kenapa memilih dua race ini?. Karena momennya deket dengan kemungkinan jadwal wisuda sarjana saya, Rtc bakal bulan Agustus dan Borobudur di bulan November. Bisa sekaligus latihannya. Nah, petaka dimulai, ternyata dari bulan April yang rencana jadi awal latihan untuk kedua race tersebut menjadi awal bulan yang sangat padat, revisi dan aktivitas laboratorium sampai wisuda bulan juli. Rtc hanya fokus untuk mental menghadapi jarak terjauh dalam idup buat lari, sementara Borobudur marathon nyiapinnya masih lumayan, bulan September-Oktober udah dapet ritme latihan lari karena dapet tempat kerja yang cukup sesuai (hingga kemudian hari hal yang tak terduga terjadi).

3-4 kali/minggu di bulan september dengan mengutamakan nafas nyaman di pace 5:40 min/Km atw 9.04 min/mil. Bulan Oktober mulai nyiapin strade, interval, dan tempo khusus di jalanan turunan biar kebantu ceritannya. Hehe

Target sub 4 (under 4 hour for full marathon) dengan latihan di 5K dan 10K terkuasai dengan apik. Hingga saja akhir Oktober kabar phk dari tempat kerja bener-bener memberik kejutan yang mendalam. Race tinggal 17 hari lagi, mental berantakan dan semangat lari pudar. Langsung saja memasang slot di sebuah e-commerce. DIJUAL

Kemudian, suatu pagi ada temen-temen yang minta saran untuk race 5K pertama mereka di Bandung. Pagi yang mata berat rasa ingin molor tertarik untuk ikut meriksa latihan mereka di danau ITB Jatinangor. Kemudian hari lagi ada senior yang juga DM (direct message) untuk minta di coaching buat persiapan race HM (half marathon) pertamanya. Kebetulan yang nggak biasa kan?! Allah maha adil gung!!

Race Day

Tiket keberangkatan dipilih jauh-jauh hari. Pembeli yang mau beli slot saya tolak mentah – mentah (padahal untungnya menggiurkan..hehe). Outfit dipersiapkan dengan matang, carbo loading memaksimalkan asupan buah dan fruktosa dari hari Jumat-nya. Hanya saja karna mungkin tegang, sabtu malam baru bisa tidur jam setengah 10 an padahal bakal dijemput di jogja di Ambarukmo Plaza jam 2 pagi. Malapetaka itu bermulai dari sini. Selama perjalanan jogja-magelang (Borobudur) nggak bisa tidur, ngobrol asyik dengan Samuel sesama FM-ers.

Masuk garis start jam 4.45 dengan clear area yang sangat rapih dari panitia dan tim keamanan (polisi) rada buru-buru karena udah mendekati jadwal mulai pukul 5 WIB. Sialnya saya lupa melakukan pemanasan dinamis, hanya statis saja. Petaka bertambah lagi. Lagu Indonesia raya yang dipandu Monita Tahalea dengan gaun putih anggunnya sudah dinyanyikan start langsung ditarik oleh pak Ganjar (Gubernur Jawa Tengah). Pace cukup nyaman sesuai rencana, apalagi di depan saya ada pasangan atlet trail run Eni Rosita dan Abdul Aziz pace makin terjaga dan udah ngebentuk diamon pacer kaya’ di #Breaking2 … ehm

stra

Dan, baru nyadar ternyata banyaknya downhill dan animo masyarakat yang bikin hati ini senang kondisi pace saya jebol ke 5.22-5.31. Malapetaka itu menumpuk dengan sempurna. Kilometer 20 menju 21 tiba-tiba ada rasa kantuk yang tak tertahan, badan panas luar biasa seperti efek begadang dan kena angin. Dan penghabisan dari petaka itu side stitch didua sisi perut. Langung mencoba mempraktekan ilmu dari youtube, pegang perut dan kurangi pace. Sialnya nggak sembuh malah hamstring ikutan. Km 29 kaki kiri kaku nggak mau digerakkan lurus tegang tiba-tiba. Bercermin dari 150 km bulan Agustus lalu, langsung saya gosok-gosok kaki supaya lunak. Trus langsung jalan sambil nahan sakit kram. Terhitung dari Km 24 sampai 37 saya jalan, langsung ingatan akan seseorang istimewa menembus fikiran (…ehm) dan rindunya tempat kerja juga kebayang terang. Apa boleh buat.

46507336_2002110659879263_4273131390209359872_o

Menembus KM 11 dengan pace ueenakk (photo by Cerita Lari @faizkasmy)

Karna kram nggak kunjung beres, tiap ketemu water station (WS) saya ngambil air mineral sekitar 300 ml untuk konsumsi menuju WS selanjutnya. Dan ketika mulai ketemu semangka, jeruk peras, dan busa dingin mulailah side stitch memudar. Dari pace 7.48 di KM 38 saya bisa lari dikit-dikit, kalo nggak kebantu sama cheering warga dan marshal panitia kayaknya semangat saya sudah pudar dari KM 20. TIDUR.

46437332_2000174026739593_9014966269304111104_o

Di tengah kaki yang kram dan sakit nggak kekira entah mengapa bisa tetep bersemangat, trimakasih adik-adikku (photo by Cerita Lari @faizkasmy)

Finish dengan waktu 5:00:48, bener-bener buruk. Bukan karena tanjakan atau turunan yang menghantui, karena kurang komitmen dan fokus untuk latihan. Bahan evaluasi sudah menumpuk, tapi untuk sementara lebih banyak recovery dulu biar rasa sakit di paha, pinggang dan betis ilang dulu baru buat training plan yang baru. Untuk apa? untuk Borobudur Marathon taun depan. DENDAM

Post Race

Sertifikat internasional untuk Borobudur emang layak sekali, penyelenggaraanya rapih dari pendaftaran sampai finish. Terbukti dengan saya bisa langsung bisa menerapkan pace sub 4 dari awal start line dan tidur setelah finish (nggak dapet kesempatan foto di booth deh).

Kalo saya boleh nilai sih nih race event full marathon terbaik di Indonesia!!.

borton.jpg

Suasana start katagori FM (Photo by. Borobudur Marathon Official)

tim 22

6 hektar lahan dengan aneka buah menghiasi kehidupan di dua bulan terakhir. Kebayang ‘eungap’nya jalan kontrol tiap hari, jalanya harus zig-zag karna semua sudut mesti terjelajahi. Sampai-sampai jam gps.ku bunyi “completed activity for today” di tengah-tengah perjalanan, saking jauhnya.IMG_20180902_170229.jpg

Dibersamai itu dengan 22 orang tim teknis lapangan mengurus kegiatanya, merawat tanaman hingga menguras kolam yang segede gaban.

Rasa-sanya kebiasaan nyeduh kopi tiap pagi adalah momen langka dan baru saya, ngikut orang-orang di sana. Nyruput kopi seperti makan nasi bagi saya, banyak bener. Tapi, kebiasaan baru di panggil “pak” adalah sebuah rasa iba yang nggak tertahankan. Tak tahu darimana panggilan ini berasal, hanya saja rasa masih muda jadi tak enak diberlakukan seakan lebih tahu, ditengah tim yang rerata sudah kepala 5.

Mungkin setidaknya kenangan tiap pagi, siang, malam di panggil (dipaksa) ibu buat makan dan dongeng dari bapak dari masa-masa jayannya nggak akan terlupakan. That’s amazing team!!.

diberhentikan dari sebuah pekerjaan ketika berumur 24 tahun, mungkin berat atau terasa terlalu dini. Tapi, sekali manusia terkena penyakit hati, hasad, suka membicarakan keburukan ketika orangnya tidak ada, perlu upaya extra untuk menyembuhkannya. Hidup adalah perjalanan, membenci bukan solusi, apalagi membalas dengan hal yang sama. Kalo kata temen “jangan baperan sih” “kapan lagi ngrasain dipecat, haha”

Lulusan dari sebuah universitas ternama di Jatinangor dengan minat ahli penyakit tanaman dan biopestisida, enggak. Saya hanya manusia biasa dengan ilmu dan pengalaman minim  yang mencintai pertanaman dan orang-orang ikhlas di dalamnya.

Berlari untuk Berbagi, pertamakali ikut Ultrarun

po~~Race recap #Runtocare 150K Individu 2018~~

@gideoniwank-air-9511

photo by. @rungrapher (@gideoniwank)

PRA-RACE

Berangkat dari Bandung hari rabu 8 Agustus atau dua hari sebelum acara dimulai, sebagai usaha untuk aklimatisasi kemungkinan panasnya jalur Jogja dan Semarang yang mempunyai rerata elevasi di katagori dataran rendah alias bakalan kerasa panas di tubuh, kecuali track Magelang, dan kaki Merapi-Merbabu.

Hari kamis tappering terbukti 10K di jalanan malioboro-UGM haus luar biasa. Untung ketemu indo*** langsung beli elektrolit. Tappering ini juga mengkondisikan diri dengan pace yang bakalan dipakai saat race nanti, target nggak lebih dari 10 menit/mil.

Tappering hari kedua di Gor pancasila kampus UGM, 5 km dengan usaha supaya otot – otot disemua badan nanti nggak kaget diajak lari dari malam hari yang biasannya waktunya narik slimut di kasur. Pace yang digunakan pace kombinasi cepat-lambat dengan asumsi bakalan ketemu downhill yang bikin nafsu untuk digeberr.

Race pack collection di Hotel d’senopati Jl. Senopati sekitar 400 m dari tugu peringatan 11 maret atau titik nol Yogyakarta. Mungkin ini RPC paling mewah bagi saya di segala even race. Pengambilan dimulai dengan absensi, dilanjutkan mengisi weiver yang berisi surat pertanggungjawaban mengikuti race jika terjadi kenapa-kenapa pokoknya semua udah dibebankan pada individu yang ngikutin. Kemudian medical check-up, aman.  Walaupun kata mbaknya distole saya terlalu tinggi tapi masih aman. Kemudian mengambil RPC berupa tas mungil, kaos, dan gelang SOS Children’s Village.IMG_20180807_222107

beberapa gear yang saya pakai dan dititipkan di CP

Selain RPC saya juga menyempatkan membeli energy bar made in malang, “Eat and Run” rasa cinamon raisin dan coklat 3 pack langsung (18 biji) biar puas, takut kelaparan nanti pas di jalan. Kemudian karena setiap race hampir selalu kena kram saya beli salt stick 8 buah (64 ribu).

Jam 8 malam ada sambutan dan arahan dari EO bang Lexi Rohi dan admin RTC selama ini mbak Luciana. Himbauan paling mengena dari dari Bang Lexi adalah even ini walaupun ultra bakalan di support banyak tim dan jadiin ini batu loncatan untuk even yang lebih serius yaitu race. Langsung rasanya menggebu-gebu semangat memuncak. Tidak seperti ketika keberangkatan dari Sumedang yang bikin deg-degan karena elevasi dan jaraknya mengerikan.

Jam 21.30 cek mandatory gear di venue start, lampu, reflective lamp, botol minum, hydro bag, kaos cadangan, peta cetak dan *GPX, serta handphone. Persiapan saya mulai dengan mengisi air pada vest yaitu elektrolit dari Pocari S*** dan air mineral *qua di botol. Kemudian pemanasan sampai menjelang pukul 22.00 WIB. Kondisi tubuh jauh lebih mantab ketimbang ketika mengambil RPC, perut tidak mual, kepala tidak pusing seperti sehabis tidur, dan kaki lebih kokoh walaupun hari ahadnya kaki ketarik pas main badminton di Bandung.IMG_20180811_172906

menyapa Gn. Merapi setelah bosen turunan yang nggak beres-beres

RACE

Race dimulai tepat 22.00 WIB dengan dimulai dengan nyanyi lagu INDONESIA RAYA. Tanpa basa-basi, jam polar m400 saya pencet dan langsung tancap. Alhamdulillah sampai WS 1 dan WS 2 tanpa ada kendala apapun lancar. Di dua Water station tersebut saya makan semangka saja sampai perut terisi dengan nyaman tidak merasa kehausan apalagi kelaparan, walaupun dari WS awal tersebut sudah ada tim fisioterapis. Di WS 2 saya menambah cola karena lebih cepat menekan haus. Hanya saja perjalanan dari WS1 ke WS 2 tidak seperti dari garis start ke WS1 yang saya lakukan dengan berlari menggerombol (satu barisan dengan Ibn Jamil), WS1 menuju WS2 saya cukup nafsu pace cukup menanjak darri 10-11 min/mil menjadi 9 min/mil. Akhirnya drama itu dimulai, salt stick lenyap, entah kemana, kaki kiri kaku karena dari WS1 ke WS2 sudah ada kombinasi trek nanjak dan turun yang cukup panjang namun tetap menggunakan pace di bawah 10 min/mil. Akhirnya dari WS2 menuju CP1 drama itu mencapai episode tegang kaki kiri kram kaku total sampai harus menepi ke sisi jalan dan jalan pelan-pelan, kemudian tidak berapa lama ada ambulan melaju saya melambaikan tangan, streching dilakukan tim 3 orang cewek. Alhamdulillah kaki bisa ditekuk dan sedikit lebih baik, langsung lari kembali dengan pace yang sudah melejit jauh diatas 20 min/ mil. Tidak berselang lama setelah saling salip dengan mbak Mila, blister di jari kaki kanan sobek dan lecet yang sudah perih bingits. Di tengah jalan yang gelap gulita cukup sulit untuk menunggu mencari jalan yang ada penerangannya, setelah ketemu langsung saya tambal dengan lakban putih yang kebetulan saya bawa. Kaki seakan kumat-kumatan kram berhenti jalan, utak – atik jalan lagi, ditambah kondisi berlari sendiri dan jalan gelap elevasi mulai menanjak di daerah Borobudur sekan menambah siksaan ini. Yes. CP1 akhir ketemu dengan capaian waktu sekitar lima setengah jam atau jam 3.30 hari sabtu, langsung mendapat perawatan dari fisioterapis dari Universitas ‘Aisyiyah, sekaligus menambal kaki yang blister dengan lebih layak. Kemudian tidur sampai jam 5, lanjut solat subuh dan meluncur kembali. Dari CP1 menuju WS3 saya ditemani seorang bapak berkacamata sesama dari Bandung, yang bakal batlle sampai KM 65 dan berhasil meninggalkan saya sangat jauh.  Sampai WS3 langsung pertama adalah melahap sebanyak semangka yang bisa dimakan dan langsung di fisio kembali, tidak lupa melaksanakan rekomendasi dari bapak berkacamata untuk tidak menyentuh kembali eletrolit Poc*** S dan mending konsumsi Pop Mi*. Lanjut WS 3 menuju WS 4 lama – kelamaan kaki kanan ikut marah, panas sakit paha dan betis kram total. Beberapa kali duduk di pinggir jalan karenan memang kaki tidak bisa diajak bertempur. Elevasi menuju WS 4 emang naik menjadi 688 m dari 385 m. Setelah melakukan kombinasi jalan cepat dan duduk-duduk manja engkel tiba-tiba terasa sakit tepat di bagian yang cidera ketika main badminton ahad kemarin. Posisi yang cukup sempurna ditengah panas terik yang menyebabkan air di botol dan vest habis sebelum mencapai WS 4. Sebisa mungkin di jalan tidak melakukan pemberhentian, teruse bergerak entah bagaimana metodenya. Sampai di WS 4 ngisi air, pesan pop mi, dan sterching yang lama oleh fisio terapis andalan. Bahkan harus di tapping untuk meringankan rasa sakit dan otot yang menegang di kedua kaki. Ditambah kencing yang sakit karena kemungkinan dehidrasi selama perjalanan. Fisio dan istirahat disini menghabiskan hampir 2 jam. Nyaman banget dan spesial trimakasih untuk mas terapisnya, sayang nggak nanya namanya. Setelah ini elevasi menuju CP 2 akan melonjak menjadi 1229 m, kalu kalian nggak liat sendiri bakal nggak tau gimana nanjak dan berkeloknya ni jalur. 12,7 km harus saya tempuh untuk mendapatkan tempat kenyamanan kembali alias bisa tidur lagi. Di pinggir jalan sempet ketemu tim supportnya mba Carla, dan saya dapet Pocar* S*** dingin dan skaligus refil air minerla, yummi. Trimakasih kalian. Gebber langsung tanjakkan tak berujungnya Muntilan, anehnya kaki terasa ringan untuk lari dengan kondisi elevasi yang nggak masuk akal seperti ini, kalau kata teman sesama pelari individu “truk ama mobil ajak teriak-teriak nanjaknya”, bau kopling dan ban dimana-mana. Melewati kaki gunung merapi emang bukan hal mudah, turunan seperti hanya kudapan ringan yang adanya sekelebat saja, itupun di hutan-hutan setelah sekalinya turun nanjaknya ampun-ampun. Setelah berhasil melarikan diri menuju CP2 yang disambut grup drumbanc dari SMP N 3 Pakis Magelang (Ketep) langsung makan pisang, cola, telur, di terapis kembali, sholat dan tidur sampai puas (30 menit). Di CP2 dapet advice mengenai nutrisi dari sesama pelari, diberi sekantong planstik es untuk kompres kaki, dan dianjurkan untuk istirahat dulu tidur juga, sayangnya lagi-lagi nggak nannya namanya (fatal). O iya, tidak lupa juga ungkapan terimakasih kepada tim support dari RIOT yang memberikan air dan kesegaran semangka dengan ramah, karena kebetulan air di vest dan botol abis.

Jam setengah empat meninggalkan CP2 dengan nyaman. Jika menuju CP2 nanjaknya menyiksa raga, makan untuk melengkapi kehancuran tersebut adalah jalan menuju WS5 ini, turunan tak ada ujung, baru pertama kali saya benci banget dengan downhill, tak bisa menggeber sedikitpun, melihat jam hanya bisa dikisaran pace 16 min/mil. Jauh banget nih turunan, kaki bekas kram menjadi sakit dan panas setiap menapak aspal ditambah selangkangan kanan ikutan menyumbang nyeri. Entah apa yang terjadi setelah beberapa kali minum, ada rasa haus yang tidak tertutup, makan energy bar dan madu tetep rasanya ada yang kurang. Lemes, laper, haus, nggak ketutup. Akhirnya menepi membeli 2 jeruk potong (lemon), makan dengan buasnya, dan ketika mau bayar ibunya nggak mau di bayar. Ya Allah semoga ibu penjualnya diberkahi rizki tiada henti. Yess, rasa kurang itu bisa menutup  hingga saya bisa mencapai WS 5 tepat masuk waktu magrib pukul 18.00 hari sabtu. Mie panas dan roti langsung saya jejalkan. Tak lupa mengisi air untuk downhill yang masih belum terlihat ujungnya. Kemudian streching dimulai, fisioterapis kali ini cukup dibuat kebingungan, kaki kaku dimana-mana lutut, engkel, betis, paha dan slangkangan. Lengkap sudah pokoknya. Demi menghindari berlari sendiri akhirnya saya tidak melakukan sesi tidur, langsung tancap meraih CP 3, dan inilah awal kesalahan terfatal. WS 6 dengan mayoritas turunan dan jalan super gelap sepanjang 10,1 KM saya lalui walopun botol air sempat jatuh  dan terlindas kendaraan hingga bocor tapi masih ada sisa-sisa yang bisa diminum. Di WS 6 minum kopi, cola, semangka, fisio, dan lagi-lagi langsung tancap gas, nggak menyadari jam tempuh kala itu yang sudah menginjak 21.00 dan untuk menuju CP3 perlu menembus jarak 14,7 km. mungkin jika di siang hari oke aja masih banyak orang bersliweran, dan ini jalan yang dilalui jalan besar penuh kendaraan besar dan kencang. Oke, karena merasa jalur yang dilalui bakal datar-datar maka mencoba lari dengan agak cepet, saya teledor melupakan pesan fisioterapis di WS5 untuk menggunakan 20-25% kemampuan aja. Sampai salah seorang peserta ibu-ibu relay 2 bilang “wah walo kaki udah kaya gitu bisa aja lari keceng, hebat” rada terbesit rasa bangga sih, tapi itulah kesalahan terfatal saya selama race ini. 4-5 km awal lari dari WS 6 masih bisa lari, hingga terpaan kantuk membuat seolah-olah otot ikut tertidur walopun otak sudah menyuruh untuk berlari. Usaha menampar – nampar pipi dan mencubit betis sia-sia, sampai 5 kemudian lebih didominasi duduk dan jalan pelan-pelan, hingga jarak 3 km dari CP3 saya memutuskan tidur di musola pukul 23.30 WIB hari Sabtu. Bangun – bangun saya kaget, rencana cuman rebahan 15 menit, ternyata sudah tidur setengah jam lebih. Bangun kaki rasanya kaku dan sakit, dua-duanya. Tanpa ampun kaki sakit terus walaupun hanya untuk jalan saja. Berusaha mencari pelari lain yang masih bisa dikejar dan dijadiin partner jalan malam tidak ketemu-ketemu, sampai menemukan marshal memutuskan rehat disana ngobrol sejenak mencari kawan. Setelah ada seorang peserta sesama individu yang lewat memutuskan jalan menuju CP3, saat itu sudah menunjukkan pukul 1.30 hari Minggu (12 Agustus 2018). Karena COT (cut off time) CP3 jam 3 saya memutuskan untuk mempercepat mengambil apa yang dibutuhkan. Dan fisioterapis disini juga tidak bisa berbuat banyak karena memang kaki saya sudah menuju titik maksimal. Momen di CP3 ditutup dengan makan soto semangkok kecil dan solat magrib-isya di jamak. Di sini juga saya memutuskan mencopot CD (celana dalam) karena bikin bagian bawah saya sakit. Sekitar 7 menit menuju COT saya akhirnya memutuskan melanjutkan lari dengan jaket, buf, kaos tangan lengkap, mencoba lari kecil-kecil di sisa-sisa jalur ini, walaupun hasilnya sia-sia kaki makin sakit, jalanan perlahan sampai menemukan mushola untuk tidur kembali karena kantuk tak dapat ditahan. Terbangun karena subuh sudah masuk. Udara terasa dingin dan air wudu menusuk hingga daging, padahal saya di ketinggian tak lebih dari 700 mdpl. Setelah subuh menggunakan segala upaya dan daya untuk terus melaju menemukan WS 7 di kilometer 131,2. Ketika sampai di sebuah pasar dan mencopot jaket untuk dimasukan hydrobag saya ketemu pak cokro dari belakang ditemani marshal naik motor. Rasa kagum dan semangat membuncah luar biasa tiba-tiba, betapa tidak karena ketemu pak cokro itu di perjalanan menuju CP 1 masih kilometer 20an dan kondisi beliau asam lambungya naik. Dan ketika beliau bercerita sambil jalan, beliau melewatkan beberapa WS dan CP (kecuali CP 1 dan CP3) karena memang udah bubar, COT. Langsung setelah itu saya seperti punya energu tambahan, ketika diperkenankan untuk mendahului saya langsung lari cepat naik turun jalanan sampai WS7 Jl. WR Surpatman – Semarang. Di WS ini saya tidak fisio, hanya makan semangkan dan melon serta telur yang tidak dihabiskan Mak Del. Hanya saja ketika Pak Cokro lewat, Mak Del udah berangkat saya ketiduran sampai ketika velbed mau dibereskan saya dibangunkan sama panitia, bangun dengan kaget saya langsung mencopot hydrobag berjalan sempoyongan menembus panasnya jalan Semarang. Secara perlahan ternyata di depan saya ada 5 orang pelari individu yang sudah hampir total hanyak berjalan. Karena saya masih bisa sedikit berlari saya melewati mereka untuk bisa mencapai WS 8 atau tempat pemberhentian terakhir sebelum garis finish. Sayang COT tinggal 30 menitan, ditambah dari kelima orang tersebut hanya saya yang sampai di tangani 3 fisioterapis sekaligus. Semangat memang membara hanya saja fisik tidak bisa dipaksa.

IMG_20180811_065815

salah satu jalur yang bakal dilewati adalah pasar yang serame ini

140 kilometer pas terlalui, nggak lucu kalau DNF disini. Tapping dipasangkan di engkel kaki kanan oleh mbak fisio, langsung geber kembali sampai ketemu kembali dengan pak cokro dan membersamai beliau sampai KM 143 setelah itu saya mencoba lebih cepat berlari sampai ketemu tim support mobil, istirahat kembali dan saya bertemu seorang bapak dengan membawa tracking pole bambu untuk pijakan yang sama-sama katagori individu, waw. Dari tim support mobil ini saya dapet anduk dingin yang nyaman banget untuk diletakkan di leher dan kepala, berrr. Makan semangka sampai puas, kemudian minum eletrolit dingin sampai kenyang terus baru berangkat. Trimakasih ya kalian. Bersama si bapak bertrekking pole bambu saya berlari menyelesaikan race, hanya saja di KM 146 sebelum tanjakan super yang bikin putus asa, saya tidak bisa melanjutkan lari dan mengimbangi kecepatan beliau, overheat kepala berkali-kali saya guyur dengan air minum masih saja rasanya panas banget. Hingga 2 kilometer terakhir saya berhenti untuk meminta air kepada warga mengguyur kepala sampai bener-bener basah, eh tapi malah dibeliin air minum dingin sama tim support, kan jadi seneng. Hehe

Selama proses pengguyuran saya dilewati kembali ama pak cokro, tapi tak apalah yang saya pikirkan waktu itu bisa finish pukul 11.40 WIB atau 20 menit sebelum COT. Ternyata tanjakan tanpa ampun diakhir ini saya tidak bisa mempertahankan pace 10 min/km. Saya menggertakkan gigi sekuat mungkin, untuk intinya bisa finish aja sebelum COT aja deh. 800an meter menuju garis finish bahkan saya ditawarin seorang bapak warga setempat yang merasa kasihan dengan dibonceng naik motornya. Saya berusaha menolah dengan halus, bahkan sampai saya diberi petunjuk jalan finish dan ditungguin takut terjadi kenapa-kenapa. Aroma finish dan keriuhan venue utama mulai terdengar sekitar 200 meter dari posisi saya, langsung kaki mencoba lari dengan pace 9 min/km. Finish, tak ada sambutan mencolok, fotopun tidak, hanya ingin fokus rebahan dan istirahat. 37:51:58 (unofficial time) 150,4 Km, saya rasa nggak terlalu buruk.IMG_20180812_072539

Water station ke-7, senyum abis makan semangka sebelum ketiduran dan menabrak COT

POST RACE

I can’t imagine how I can finish 150,4 Km in singgle run. Gila sih rasanya pas udah bisa nglewatin finish. Rasa yakin untuk mampu turut lagi di race serupa meluap-luap, masih haus rasanya. Setelah melewati finish saya menuju tenda untuk tiduran sebentar, kemudian makan 2 kali tambahan dan dua sendok sambel kecap kesukaan, balas dendam untuk perut yang kelaparan. Buah dan cola saya masukkan mulut hingga perut tidak bisa berkomentar banyak, kenyang. Setelah selesai mengurus barang-barang titipan, saya memutuskan bermalam di Semarang memberikan kesempatan kaki untuk lurus kembali sebelum kembali ke Bandung. Dan, yes insyallah tahun depan saya akan kembali dengan kekuatan yang lebih baik dan donasi yang lebih tinggi. Bismillah.

campaign

Karena berbagi bisa dengan cara berlari

 

P.S: untuk temen-temen yang bakal virgin ultra 100K ke atas, even ini patut untuk menjadi yang pertama kalian ikuti. Asli!!!